Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Menangis...
Novel yang sangat indah, yang saya pinjam hanya dengan harga 2900 di persewaan buku bacaan tak jauh dari rumah. Sebenarnya dilihat dari sampulnya, saya sudah merasakan suatu emosi yang tidak bisa dijelaskan, dan tertarik untuk membacanya. Novel ini bercerita banyak tentang cinta dan kehidupan spiritual, termasuk campuran yang rumit antara keduanya. Di dalamnya juga banyak ungkapan - ungkapan cinta yang syahdu dan bermakna sangat dalam..
Berkisah tentang seorang wanita, Pilar yang menemukan kembali cinta pertamanya sejak belasan tahun berpisah. Cinta yang dahulu tumbuh di hati masing2 dari mereka, namun malu untuk diungkapkan. Pilar tumbuh menjadi wanita dewasa yang tegar, yang mampu mengendalikan perasaannya dengan amat baik. Sementara kekasihnya menjelma sebagai pemimpin spiritual, dan memilih religi sebagai pelarian dari konflik - konflik batin yang dirasakannya.
Cinta yang belasan tahun terkubur dalam di hati mereka, perlahan bangkit dengan tertatih - tatih. Pembatas itu adalah prinsip, idealisme, gengsi, dan kenyataan pahit bahwa kini mereka berada dalam dua dunia yang berbeda. Bersama, mereka menyusuri perjalanan untuk mewujudkan mimpi - mimpi mereka, tawa, tangis, bahagia, derita, dan kematangan spritiual yang kemudian menghadapkan mereka pada persoalan - persoalan terpenting dalam kehidupan.
Novel ini memberikan banyak pandangan kepada saya tentang cinta, bukan cinta dalam konteks sempit saja, namun kemudian cinta yang lebih luas, tentang Tuhan dan religiusitas. Bahwa pada dasarnya, kehidupan spiritual adalah mencintai. Kita tidak mencintai demi melakukan kebaikan atau untuk menolong atau melidungi seseorang. Kalau ini terjadi, kita sama saja menjadikan orang lain sebagai obyek, dan menganggap diri kita orang yang bijaksana dan murah hati. (tidak ada hubungannya dengan cinta!)
Mencintai adalah melebur dengan orang yang kita cintai dan menemukan percikan Tuhan dalam diriNya.
Saya jadi ingat beberapa saat yang lalu, ketika saya dan teman FB saya Pieter, dari Belanda saling mengobrol cukup serius tentang keeksistensian Tuhan. Bermula ketika ia menanyakan keadaan saya berkaitan dengan tsunami yang terjadi beberapa waktu lalu di Jepang. Saya pun memastikan padanya bahwa saya baik - baik saja karena tsunami waktu itu tidak sampai ke Indonesia. Kemudian saya bilang padanya, saya selalu berdoa untuk para korban yang meninggal maupun yang belum ditemukan. Saya cukup surprised ketika mendapati pesan balasannya yang mengatakan bahwa dia sebenarnya tidak percaya pada Tuhan (meskipun ia dibesarkan dalam keluarga dengan background agama Katolik). Kemudian saya bilang padanya, bahwa saya juga bukanlah orang yang religius. Saya tidak tahu apa - apa soal agama, karena saya tidak terlalu perduli pada hal tersebut. Maksud saya, saya berdoa dengan jalan dan cara saya sendiri, yang cukuplah dipahami oleh kami berdua saja, saya dan Tuhan sendiri. Saya mengenal Tuhan sebagai sahabat yang sangat menyayangi saya dan saya sayangi (tentunya!). Bukan sebagai sosok penuh kemarahan yang senantiasa menyalahkan manusia atas kematian Putera TunggalNya di kayu salib.
"Rarely do we realize that
we are in the midst of the extraordinary. Miracles occur all around us, signs
from God show us the way, angels plead to be heard, but we pay little attention
to them because we have been taught that we must follow certain formulas and
rules if we want to find God. We do not recognize that God is wherever we allow
Him/Her to enter.. "
Jarang sekali kita menyadari bahwa kita berada ditengah2 hal hal yang luar biasa. mukjizat terjadi di sekeliling kita, pertanda - pertanda dari Tuhan menunjukkan jalannya kepada kita, para malaikat memohon untuk didengarkan, namun kita tidak menyadari semua ini karena kita telah diajari bahawa jika ingin menemukan Tuhan,kita harus mengikuti rumus atau aturan2 tertentu.
Kita tidak menyadari bahwa Allah ada dimanapun Ia diijinkan.
"Traditional religious practices are important: they allow us to share with
others the communal experience of adoration and prayer. But we must never forget
that spiritual experience is above all a practical experience of love. And with
love, there are no rules. Some may try to control their emotions and develop
strategies for their behavior; others may turn to reading books of advice from
"experts" on relationships but this is all folly. The heart decides, and what it
decides is all that really matters.."
Praktek - praktek religius tradisional memang penting,
memberi kita kesempatan untuk berdoa dan menyembah bersama sesama umat. Tapi kita tidak boleh lupa bahwa pengalaman spiritual sesungguhnya adalah pengalaman praktis dari cinta.
Dan cinta tidak mengenal peraturan. Sebagian orang mungkin mencoba mengendalikan perasaan mereka dan mengatur tindak tanduk mereka. Yang lain mungkin membaca buku berisi saran - saran para
"ahli" masalah hubungan, tapi semua ini tindakan bodoh. Hatilah yang memutuskan dan apa yang diputuskan, inilah yang paling berarti. Cepat atau lambat kita harus mengatasi ketakutan kita, karena jalan spiritual hanya dapat ditempuh melalui pengalaman sehari - hari akan cinta.
Ada orang - orang yang meninggalkan segalanya dan pergi mencari Tuhan, mereka keliru.
Orang yang pergi mencari Tuhan hanya membuang - buang waktu, ia bisa menempuh ribuan jalan dan memeluk banyak agama dengan aliran, namun ia tak akan menemukan Tuhan dengan cara itu.
Kenapa?
Karena Tuhan ada disini, pada saat ini, di sisi kita..
Untuk menemukan Tuhan, kita hanya perlu memandang sekitar kita..
Namun menemukan Tuhan tidaklah mudah, semakin Tuhan meminta kita mengambil bagian dalam misteri - misteri Nya, semakin bimbang kita, karena Dia terus menerus meminta kita mengikuti mimpi - mimpi dan suara hati kita.
Akhirnya kita terkejut, menyadari bahwa Tuhan menginginkan kita bahagia.
"The closer we get to God through our faith, the simpler He becomes. And the simpler He becomes, the greater is His presense.."
Semakin dekat kita kepada Tuhan lewat iman kita, maka semakin sederhana pula Tuhan itu.
Semakin sederhana Tuhan, maka semakin besar keberadaan-Nya.
Naah..
Kembali ke masalah romantika, novel ini bilang,
Dalam kehidupan nyata, cinta harus memiliki kemungkinan. Bahkan kalaupun tidak langsung berbalas, cinta hanya dapat bertahan jika ada harapan kau akan memenangkan hati orang yang kaucintai.
Selebihnya hanya fantasi.
Jujur, seringkali logika saya berusaha mengingkari bahwa saya tak memiliki harapan bersamanya. Namun, jauh di dalam lubuk hati saya, saya yakin, yakin dengannya. Bahwa ada kemungkinan dia yang saya sayangi akan saya menangkan hatinya.
Meskipun mencintai berarti meninggalkan, sendirian, dan kepedihan, cinta sangat layak berapapun resiko yang harus dibayar. Kita hanya perlu menerimanya, karena cintalah yang memelihara keberadaan kita. Jika kita menolak cinta, kita akan mati kelaparan, karena kita tidak lagi memiliki keberanian untuk mengulurkan tangan dan memetik buah - buah dari dahan - dahan pohon kehidupan. Kita harus menyambut cinta dimanapun kita menemukannya, meskipun itu berarti berjam - jam, bahkan berminggu - minggu kekecewaan dan kegetiran. Di saat kita mulai mencari cinta, cinta pun mencari kita. Dia menyelamatkan kita.
Cinta tidak banyak bertanya, karena kalau berhenti sejenak untuk berpikir, kita menjadi takut. Ini jenis takut yang tak dapat dijelaskan, bahkan sulit digambarkan. mungkin takut dicemooh, takut tidak diterima, takut merusak daya magisnya. Memang konyol, tapi begitulah yangterjadi. Itu sebabnya kita tidak perlu bertanya - melainkan bertindak..
*apa - apaan ini?? serius sekali yaa pembicaraannya, mandi dulu dehhhh.. :D